Sebagai warga negara, pastilah sudah tak asing lagi dengan istilah hukum. Salah satu yang sering kita dengar adalah Pasal 1320 Buku Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Pasal ini berkaitan dengan perjanjian hukum yang dilakukan antarindividu atau antarbadan hukum. Namun, banyak juga yang mungkin belum memahami secara rinci apa maksud dari Pasal 1320 BW dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, artikel ini dibuat untuk mengulas lebih dalam mengenai Pasal 1320 BW dalam bahasa yang santai dan mudah dipahami.
Definisi Pasal 1320 BW
Pasal 1320 BW adalah salah satu pasal dalam hukum perdata Indonesia yang berkaitan dengan pembentukan suatu perjanjian atau kontrak. Pasal ini menyatakan bahwa “Setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya.” Sesuai dengan bunyi pasal ini, sebuah perjanjian akan dianggap sah dan mengikat apabila memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan perjanjian diatur dalam Pasal 1321 BW. Pasal ini menyatakan bahwa sebuah perjanjian untuk dianggap sah harus memenuhi empat hal:
- Kesesuaian dengan hukum dan moral
Perjanjian harus sesuai dengan hukum dan norma-norma moral yang berlaku. Dalam hal ini, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang melanggar hukum atau norma-norma moral yang berlaku. Misalnya, membuat perjanjian untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain atau melanggar aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. - Kesesuaian dengan ketentuan tentang kekuasaan
Perjanjian harus dibuat oleh para pihak yang memiliki kapasitas hukum yang cukup. Dalam hal ini, para pihak harus memiliki hak untuk membuat perjanjian dan tidak sedang dalam keadaan yang dapat membatalkan kapasitas hukum mereka seperti seorang anak berumur di bawah 21 tahun atau seorang yang dianggap kurang berkepribadian. - Mufakat para pihak
Perjanjian harus dibuat secara sukarela dan atas dasar mufakat para pihak yang membuatnya. Dalam hal ini, para pihak harus sepakat mengenai hak dan kewajiban masing-masing serta tujuan perjanjian yang dibuat. - Adanya objek
Perjanjian harus mempunyai objek yang jelas dan diperbolehkan oleh hukum. Objek perjanjian dapat berupa barang, jasa, atau tindakan yang dapat dinilai dalam uang.
Jika suatu perjanjian memenuhi empat persyaratan di atas maka perjanjian tersebut dianggap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, para pihak harus memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian.
Namun, terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan batalnya perjanjian meskipun telah memenuhi semua persyaratan. Perjanjian dapat dinyatakan batal jika:
- Terdapat kecacatan dalam perjanjian seperti adanya kekeliruan, penipuan, paksaan, atau kesalahan ketik.
- Perjanjian bertentangan dengan hukum atau norma-norma yang berlaku.
- Objek perjanjian tidak layak atau tidak diperbolehkan oleh hukum.
- Kapasitas hukum salah satu pihak batal sebagai akibatnya.
Perjanjian yang dinyatakan batal tidak mengikat para pihak dan hak serta kewajiban yang telah disepakati di dalamnya menjadi tidak berlaku. Perjanjian juga dapat dibatalkan jika salah satu pihak tidak memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
Dalam prakteknya, pembuatan perjanjian yang sah dan mengikat memerlukan perhatian yang serius dari para pihak yang membuatnya. Keterlibatan seorang ahli hukum dalam pembuatan perjanjian dapat membantu para pihak untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat telah memenuhi semua persyaratan hukum dan dapat dijalankan dengan baik.
Macam-macam Perjanjian Menurut Pasal 1320 BW
Pasal 1320 BW merujuk pada persetujuan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak yang bertujuan untuk menciptakan, mengubah atau memindahkan hak dan kewajiban antara satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam Pasal 1320 BW, perjanjian terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Perjanjian Yang Dibuat Dalam Bentuk Akit
Perjanjian yang dibuat dalam bentuk akit merupakan perjanjian yang diterima oleh para pihak yang bersangkutan dengan cara mengangkat tangan atau mengangguk kepala sebagai tanda kesepakatan. Akit biasanya berlaku untuk perjanjian yang sederhana dan bersifat sehari-hari, seperti sewa-menyewa, pinjam-meminjam, atau jual-beli tanah yang tidak melibatkan notaris ataupun kuasa hukum.
2. Perjanjian Yang Dibuat Dalam Bentuk Akta Notaris
Perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris adalah perjanjian yang memerlukan kehadiran notaris dalam pembuatannya. Notaris akan mengecek kebenaran identitas para pihak serta mengadakan pengikatan hukum terhadap perjanjian yang dibuat. Perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris biasanya berupa perjanjian yang bersifat kompleks dan memerlukan jaminan hukum yang kuat, seperti akta jual-beli rumah, pembagian warisan, atau perusahaan.
Perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat daripada akit biasa. Hal ini karena notaris sebagai pihak ketiga telah menyaksikan pembuatan perjanjian dan memastikan bahwa perjanjian tersebut disetujui secara sukarela dan tanpa paksaan dari para pihak. Selain itu, akta notaris juga mudah dijadikan bukti apabila terjadi perselisihan antara para pihak.
3. Perjanjian Yang Dibuat Dalam Bentuk Surat
Perjanjian yang dibuat dalam bentuk surat adalah perjanjian yang dibuat dengan cara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Surat perjanjian biasanya digunakan untuk perjanjian yang bersifat sederhana dan tanpa memerlukan jaminan hukum yang kuat, seperti kontrak kerja, kontrak jasa, atau perjanjian pinjam-meminjam uang.
Surat perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan akit dalam hal terjadinya perselisihan antara para pihak. Namun, sebagai bukti hukum, surat perjanjian tidak sekuat akta notaris. Oleh karena itu, surat perjanjian disarankan untuk dilengkapi dengan bukti-bukti fisik lainnya yang dapat menunjukkan bahwa perjanjian tersebut memang telah disetujui oleh para pihak.
Dalam pasal 1320 BW, terdapat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu terdapatnya persetujuan para pihak yang bersangkutan, kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian, serta kebolehannya dari segi hukum. Karena apapun bentuk perjanjian yang diambil, akan sah apabila memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 BW tersebut.
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 BW
Perjanjian adalah hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu perjanjian akan menjadi sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 BW. Syarat-syarat tersebut harus terpenuhi agar suatu perjanjian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Pasal 1320 BW, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dianggap sah adalah sebagai berikut:
1. Persetujuan Para Pihak
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah persetujuan dari para pihak. Persetujuan ini harus diberikan secara bebas dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Tidak ada unsur paksaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, karena jika ada paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut tidak sah dan hanya akan membebani pihak yang dirugikan.
2. Kemampuan Memiliki Dan Mengatur Hak
Syarat selanjutnya adalah kemampuan memiliki dan mengatur hak. Artinya, para pihak dalam perjanjian harus mempunyai hak untuk memiliki dan mengatur hasil perjanjian tersebut. Salah satu contoh dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat ini adalah perjanjian jual beli tanah yang tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut.
3. Adanya Suatu Hal
Syarat ketiga yang harus dipenuhi dalam perjanjian adalah adanya suatu hal. Syarat ini berarti bahwa suatu perjanjian harus memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Adanya hal tersebut dapat berupa barang atau jasa yang disepakati dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli, hal yang disepakati adalah barang yang dijual, sedangkan dalam perjanjian jasa, hal yang disepakati adalah jasa yang diberikan.
Perjanjian yang tidak memenuhi salah satu dari tiga syarat di atas dapat dianggap tidak sah atau batal demi hukum. Jadi, sebelum membuat suatu perjanjian, kita harus memeriksa apakah perjanjian tersebut memenuhi ketiga syarat yang dijelaskan dalam Pasal 1320 BW. Jangan sampai kita menjadi korban karena membuat perjanjian yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Pembuktian Perjanjian Menurut Pasal 1320 BW
Menurut Pasal 1320 BW, “suatu perjanjian mengikat ketika disetujui oleh para pihak yang membuatnya” yang berarti terdapat suatu kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut dan menyatakan persetujuan dengan menggunakan bahasa tertulis atau lisan.
Untuk membuktikan adanya perjanjian tersebut, harus dilakukan pembuktian baik secara kuat maupun lemah. Ada beberapa bentuk pembuktian yang diperbolehkan dalam Pasal 1320 BW, yaitu:
1. Bukti Perjanjian Tertulis
Salah satu bentuk pembuktian yang populer dan paling mudah dilakukan adalah memperlihatkan bukti tertulis perjanjian. Bukti tertulis ini berawal dari surat perjanjian, ketetapan, atau pernyataan lain yang tertulis dan menjelaskan kesepakatan antara para pihak. Dalam pembuktian surat perjanjian di pengadilan, dokumen asli harus disimpan para pihak, dan salinkannya harus diserahkan kepada pengadilan jika diminta untuk itu. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembuktian menggunakan bukti tertulis ini yaitu adanya tanda tangan perjanjian tersebut yang merupakan tanda persetujuan dari setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut.
2. Bukti Perjanjian Lisan
Bukti lain yang dapat digunakan dalam pembuktian perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah melalui kesaksian pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Anda dapat mengumpulkan kesaksian dari setiap pihak yang membuat perjanjian atau orang yang terlibat dalam kesepakatan. Selain itu, saksi ahli juga sangat membantu dalam memberikan kesaksian mengenai adanya perjanjian tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa bukti perjanjian lisan kurang kuat dalam membuktikan kesepakatan dan kurang dapat diandalkan jika komunikasi verbal sulit untuk dibuktikan.
3. Bukti Melalui Surat Elektronik
Perkembangan teknologi semakin maju, bukan hanya perjanjian tertulis atau lisan saja yang dapat dijadikan bukti, tetapi juga bukti-bukti melalui saluran elektronik. Seperti salinan email, transaksi transfer uang, percakapan telepon maupun chatting dengan pesan tertentu yang dapat dibuktikan. Namun, bukti dari saluran elektronik ini harus dipertimbangkan asal-asalnya, apakah benar-benar valid atau tidak.
4. Bukti Obyektif
Bukti obyektif adalah bukti yang dapat dilihat oleh setiap orang dan tidak dapat dipalsukan. Bukti ini meliputi kejadian-kejadian serta fakta-fakta seputar perjanjian. Misalnya, dapat menggunakan bukti pembayaran dan penyerahan barang sebagai bukti pembuktian karena meruoakan bukti yang sangat kuat antara pembelian dan penyerahan barang atau jasa secara langsung.
Itulah beberapa bentuk pembuktian yang dapat digunakan untuk membuktikan adanya perjanjian yang terjadi. Apa pun bentuk bukti yang digunakan, akan lebih baik jika dilakukan pemantauan dan dokumentasi yang benar sebelum terjadinya perjanjian agar menjadi lebih mudah dalam pembuktiannya.
Terima Kasih Sudah Membaca!
Itulah penjelasan tentang Pasal 1320 BW yang dapat saya sampaikan. Saya harap artikel ini bermanfaat bagi Anda dan dapat membantu memperjelas konsep hukum tentang perjanjian yang diatur oleh Pasal 1320 BW. Jangan ragu untuk mengunjungi kembali situs kami untuk artikel-artikel menarik lainnya seputar hukum dan topik-topik menarik lainnya. Sampai jumpa lagi!